another sister's school task
Entah berapa ribu malam yang telah aku habiskan tanpa kehadiran seorang ayah. Entah berapa banyak momen emosional yang aku lalui tanpa ada tangan hangatnya menggenggam tanganku. Dan entah berapa juta menit yang aku lewati tanpa mendengar nasihat-nasihat dari suaranya yang bahkan aku sudah lupa seperti apa. Tahun-tahun berlalu, dan aku tidak pernah lupa rasa yang entah seperti apa saat aku melihat dengan perlahan tanah basah di bawah rimbun pepohonan di balik rumah tua menutupi tubuh Ayah. Dan aku seperti terjebak sendiri dengan kejamnya waktu yang membuatku seolah lupa, seperti apa rasanya ketika Ayah menghapus air mataku saat menangis. Dan disinilah aku hari ii, tumbuh menjadi anak perempuan dengan seorang Ibu luar biasa hebat yang membesarkan dua anaknya, dan menjadikanku seperti aku saat ini. Aku tidak pernah mengutuk, merasa marah, kesal, atau benci dengan jalan hidup yang memisahkanku dengan Ayah meski waktu itu aku bahkan tidak tahu sama sekali apa kematian. Aku juga tidak pernah mengatakan bahwa Tuhan tidak adil karena aku tidak bisa mengingat canda tawa yang diberikan Ayah waktu itu sementara aku melihat semua orang selalu tertawa bersama Ayahnya. Aku sama sekali tidak pernah merasa tidak dikasihi karena Ayahku pulang lebih dulu saat aku bahkan belum bisa menuliskan namanya waktu itu. Aku duduk sendirian di sofa hijau tua yang dulu dibeli Ayah. Memandang ke dinding ruangan yang sedikit berdebu dengan foto Ayah disudut ruangan. Aku memejamkan mata, mencoba mengingat kembali kenangan dulu sekali sewaktu Ayah menggendongku di pundaknya dan menggoda abangku yang juga ingin digendong. Aku membuka mata, lalu menatap kembali foto Ayah. Bertanya dalam hati adakah Ayah melihat bahwa putri kecilnya yang keras kepala dan cengeng telah tumbuh menjadi seorang remaja kuat yang berani melawan rasa takut. Aku berdiri dan berlalu ke kamar. Sekilas kulihat Ibu tengah sibuk mencuci piring dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya memegang gagang mixer mengocok telor untuk teh telor pesanan pelanggan. Sedikit sakit mulai menusuk dadaku, lalu mengalir ke tenggorokanku, dan keluar melalui ujung mata yang jatuh di pipiku. Aku segera masuk ke dalam kamar. Sambil menatap cermin aku menghapus sisa rasa sedih yang mengalir begitu saja, dan menutupnya dengan sedikit bedak. Sambil berusaha tersenyum aku menghampiri Ibu dan mengambil alih mixer di tangan kirinya. “Ibu mandi gih, biar aku yang terusin” lalu Ibu berlalu setelah mencuci tangan. Setelah menyelesaikan semua pekerjaan dan menutup warung Ibu, aku terduduk di pinggir kasur. Aku memjamkan mata, lalu kembali menangis mengingat betapa kuat Ibu menjalani semua bebannya sendiri. Membesarkan dua anak tanpa suami dan mendidik kami menjadi anak yang tumbuh dengan perilaku seolah kami masih tetap memiliki Ayah. Aku bersyukur Tuhan menitipkan kami pada perempuan kuat dan tegar seperti Ibu. Tiba-tiba aku merasa rindu pada pelukan Ibu. Aku berlari keluar kamar dan mengetuk pintu kamar Ibu. “Bu, aku mau tidur sama Ibu boleh yah?” kataku manja saat Ibu membukakan pintu. Sambil tersenyum lalu Ibu memelukku. *** Treeeeettt… Suara pintu berderit membangunkanku dari mimpi tentang menjadi seorang Polisi. Sudah kebiasaanku terbangun karena suara pintu kamar abangku terbuka. Pertanda ia sudah bangun dan mulai melakukan tugasnya, tugas Ibu yang digantikan semenjak ia bisa menghidupkan kompor. “abang atau aku yang mandi duluan?” kataku setelah keluar kamar. “duluan aja, abang mau buka warung dulu” sahutnya sambil mengisi air panas ke dalam tiga gelas berisi gula dan the celup. Aku menikmati dinginnya air di pagi buta sambil tetap dengan perasaan melankolis sepanjang hari, dari kemarin. Aku melihat tumpukan cucian di sudut kamar mandi dan kembali teringat dengan beratnya tugas Ibu selama ini. Sambil menyiram muka dengan segayung air dingin dari bak mandi, aku memejamkan mata, dan bersumpah pada diri sendiri, bahwa tidak akan ku ukir sedikitpun luka di hati Ibu, dan tidak akan ku lewatkan hariku tanpa mendoakan kesehatan untuknya. Dan mulai hari ini aku tidak akan pernah lagi menjadi anak yang malas membantunya, aku berjanji untuk tidak akan menempatkan apapun lebih penting dari kebahagiaannya. Selesai mandi aku melihat ibu keluar kamar membawa handuk biru kesayangannya. Semua orang di rumah ini terbiasa mandi pagi, meskipun hari ini adalah hari Minggu. Semua orang, kami bertiga adalah semua orang yang aku sebutkan. Dan aku bahagia dengan kehidupan sederhana kami yang hangat, meski tidak pernah sempurna tanpa Ayah. “Ibu pernah bilang apa tentang kebiasaan?” kata Ibu setengah berteriak ketika menemukan seragam kotorku masih berserakan di atas kasur. “ia maaf Bu aku lupa” sahutku pelan sambil mengambil seragam itu dan menumpukna di tumpukan kain kotor. “kamu itu kerjaannya main hp aja, belajar enggak, nolongin ibu juga enggak, ngurusin baju sendiri aja ga bener” Ibu masih tetap ngomel-ngomel sambil menyapu ruang tengah. Aku hanya diam sambil memperhatikan Ibu menyapu. “ia maaf BU…” jawabku pelan. Ibu meletakkan sapu loreng kesayangannya di balik pintu. Lalu duduk di sebelahku. “dengar ya nak, Ibu tuh ga mau kalian tumbuh jadi anak nakal yang ga punya aturan. Ibu gam au orang nilai anak ibu jadi anak nakal karena mereka ga punya bapak yang mendidik. Ibu mau anak ibu tumbuh jadi anak yang santun, ngerti sama hidup, ga neko-neko. Karna ibu juga dibesarkan seperti itu. Hidup itu ga mudah, jadi kalau ga pake aturan tambah susah. Kamu ngerti?” jelas ibu sambil menyentuh pundakku. “ia bu…” sahutku semakin pelan. “lihat, apa kalian pernah merasa kesepian? Apa kalian pernah merasa kurang? Apa pernah makan kalian ga enak? Itu semua karna ibu gam au kalian merasa berbeda dari orang yang punya bapak, Ibu itu mau kalian tetap tumbuh dengan sempurna seolah kalian punya bapak. Makanya Ibu serong marah-marah, sering ngomel-ngomel. Kamu ngerti?” jelas Ibu lagi dengan nada yang semakin lembut. Suaraku sedikit tercekat untuk menyahut perkataan Ibu. Aku hanya sanggup menganggkuk. Sementara aku melihat abangku duduk di sisi lain ruang tengah sambil membolak balik buku pelajaran. “jadiin sesuatu yang bagus jadi kebiasaan” kata Ibu sambil berdiri dan berlalu ke kamarnya setelah mengacak rambutku. Aku masuk ke kamar. Mengambil sebuah album foto, dan melihat fotoku, Ibu, abangku, dan keluarga besar sedang berada di pantai. Aku melihat senyum dan tawa yang benar-benar bahagia dari semua foto. Lalu aku melihat foto Ayah di halaman terakhir, dan foto Ibu di sebelahnya. Lama aku memandang wajah ibu di foto itu. Kembali teringat abangku yang sedang belajar. Aku mengambil rapor di atas lemari. Aku memperhatikan nilai-nilai yang tidak begitu memuaskan. Aku merasa kesal dan marah pada diri sendiri. Jika abangku berusaha membuat Ibu bahagia dengan nilai-nilai yang membanggakan, lalu aku bisa apa dengan nilai seperti ini. Bahkan ia berusaha menyembunyikan luka di tangan kanannya ketika terjatuh dari sepeda motor hanya untuk tidak menambah beban Ibu. Aku terdiam. Aku berpikir keras untuk mencari cara membahagiakan Ibu. Hingga tertidur. *** Sahut-sahutan suara Takbir menggema di setiap sudut jalan, perkampungan, dan menggema di hamparan sawah. Sedikit angin berhembus menambah sejuknya suasana. Tapi rasa hangat tetap bersarang di tubuhku, dalam hatiku, dan rasa hangat ini, menyeret garis bibirku untuk tersenyum kala berbaur dan bercengkarama dengan sepupu-sepupuku, dengan tanta dan om ku, dengan abang-abangku, dan tentunya dengan Ibuku. Kehangatan yang selalu menemani keluarga kecilku setiap saat. Dan kehangatan yang mengingatkan ku bahwa Tuhan memang maha adil, mengambil kehangatan Ayah dariku, lalu menggantinya dengan kehangatan seperti ini. Tuhan tidak ingin membuatku, Ibu, dan abang terlihat kesepian. Tiba-tiba aku terdiam dan teringat dengan Ayah. Lalu aku merasakan kehangatan senyuman Ayah saat melihat Ibu tertawa bersama anak-anak dan keponakannya. Bahagia. Ibu bahagia dengan apa yang dimilikinya. Ibu telah cukup bahagia dengan kehadiranku, anak-anaknya. Dan tidak ada yang akan lebih membahagiakan Ibu selain melihat ia berhasil membuat anaknya bahagia. Jika aku bisa berbuat sedikit lebih romantis, aku akan membuat Ibu mengerti bahwa aku bahagia punya Ibu. Aku bahagia dengan kehadiran Ibu dan kekuatan Ibu membesarkan ku hingga hari ini. Aku bahagia dengan kekuatan Ibu, aku bisa melihat kehangatan, merasakan kehangatan, dan aku juga ingin memberi kehangatan kepada Ibu. Suatu hari nanti ketika aku berhasil membuat Ibu bangga dengan semua harapan yang akan aku wujudkan. Perlahan rasa hangat di dadaku berubah menjadi panas di mataku, menguap dan mengalir. Karena takut ketahuan sedang menitikkan air mata, aku pura-pura menguap. Dan mencuri pandang menatap Ibu. Tiba-tiba salah seorang sepupuku tidak sengaja melepaskan kentut dengan bunyi yang besar. Sontak semua orang yang ada di ruangan ini tertawa sambil menutup hidung. Termasuk aku. Dan lagi, aku bersyukur atas kehangatan yang diberikan Tuhan pada anak yang merindukan Ayah ini. Keluarga yang lucu. “jadi ada yang mau beliin eskrim?” suara abangku kembali memecah suasana setelah sempat hening karna terlalu banyak tertawa.
0 Comments
a ashort story that I write for my lil'sister as her school task.
Sekali waktu aku pernah mendengar seseorang berkata tentang hidup, tentang sebuah pencapaian. Entah aku mendengar dari mana dan kapan, yang aku tau pasti, aku ingat satu kalimat tentang itu, “lakukan yang kamu mau dan bisa selagi bisa”. Mungkin terdengar biasa dan sepele bagi sebagian besar orang, tapi bagiku, kalimat ini terdengar sangat super. Ya, seperti kata Mario Teguh, super sekali. Aku memulai sesuatu dengan melakukan yang aku bisa, menggambar. Terdengar sepele lagi tapi tidak semua orang tau bahwa menggambar memiliki arti yang sangat besar bagiku. Ya, menggambar dan menggambar. Dengan menggambar, aku bisa menjadi Tuhan-tuhan kecil yang bisa memutuskan matahari datang dari arah mana, dan memutuskan berapa ukuran kepala atau apa warna rambut seseorang. Dengan menggambar aku bisa menjadi seorang cenayang yang bisa meramalkan perasaan seseorang melalui warna dari sentuhan-sentuhan crayonku. Tidak ada yang mengerti betapa aku menikmati momen ketika crayon warna warniku bersentuhan dengan selembar kertas dan mewujudkan visualisasi dari imajinasi-imajinasi ku tentang dunia, tentang fashion dan tentang pendapatku mengenai dunia. Dan tidak ada yang mengira bahwa dengan menggambar aku bisa mengukir senyum di bibir kedua pahlawanku pada suatu hari, hari besar bagi seorang anak perempuan yang belajar tumbuh menjadi sesuatu bagi semua orang. *** Aku terbangun oleh meongan kucing-kucing manja yang sudah lama menjadi anggota dari penghuni rumah ini yang menempelkan badan mereka ke kaki, dan menggosok-gosokkan pundak mereka ke tanganku. Perlahan aku membuka mata dan menemukan cahaya matahar telah menyentuh dinding kamar. Sambil menggendong Shiro, kucing kampung kesayanganku aku keluar kamar. Mama dan Papa tengah duduk menikmati teh pagi berdua. “ayo mandi, nanti telat” kata Mama lalu mengalihkan pandangannya ke TV. Aku ikut duduk diantara mereka, melihat guratan waktu di pipi dan kening mereka, seolah menjawab semua pertanyaan seorang anak tentang apa yang sudah kalian lalui untuk menjadikanku seperti ini? Lalu aku berdiri dan mengambil tumpukan crayon dan pensilku di rak buku dekat meja makan. Sebuah buku gambar berukuran A3 sudah terbentang di meja. “Laila mau gambar ini dulu” sambil memperlihatkan garis-garis yang belum diwarnai pada Papa. Beberapa Minggu yang lalu aku memenangkan posisi pertama untuk kegiatan gambar menggambar ini. Jangan tanya lagi mengapa aku bisa juara, tentunya karna kalimat-kalimat yang aku tuang menjadi bentuk dan warna di selembar kertas menjadi sebuah poster bijak untuk menyampaikan pesan cinta bumi. Posisi pertama untuk tingkat Kabupaten ini tidak mudah aku raih, aku berlatih berkali-kali dan menderita kurang tidur beberapa kali karena aku ingin semuanya sempurna. Apa yang aku dapatkan dari menggambar waktu itu? Kebanggan yang aku titipan pada semua orang yang percaya padaku untuk menggambar untuk orang lain, bukan untuk diriku sendiri. Kebanggaan yang aku titipkan pada hati-hati mulia yang merasa bahwa aku cukupp baik untuk mewakili harapan mereka mengharumkan nama sebuah kampung, sebuah daerah, sebuah cita-cita, dan doa. Hari berlalu, aku menghabiskan sepertiga waktu istirahatku di rumah untuk terus menuang warna dan coretan di selembar kertas putih, berusaha melukiskan harapanku tentang bumi pada sebuah gambar. Aku selalu betah duduk berlama-lama di depan kertas dan tumpukan crayon ini, karena tidak ada yang lebih bahagia selain melihat paduan warna-warna tadi menjadi sebuah keindahan, terserah apa definisi semua orang tentang indah, yang aku tau, hasil coretanku terlihat indah dengan warna-warna itu. Minggu pun berganti minggu, tanpa terasa aku harus menggambar untuk semua orang lagi, dengan harapan yang sama, lagi. Gambarku tentang harapan semua orang tentang bumi akan menjadi salah satu pesaing dari puluhan gambar nantinya di sana, di tempat dimana aku akan bertemu puluhan pelukis lainnya yang berperang dengan ide dan warna dalam selembar kertas. Gugup dan rasa geisha menyerangku sejak hari pertama akan berangkat dengan tim dari daerah. “yang penting nanti gambarnya ga usah buru-buru, yang penting santai, rapi, dang a kotor” kakakku berkata sambil tetap melajukan sepeda motornya ketika mengajakku makan siang. Tiba-tiba aku teringat dengan dua pahlawan superku di rumah, apa Mama sudah makan? Apa Papa sudah pulang ke rumah? Lalu sedikit rindu agak menyeruak dan menguap di balik dadaku. Yaa, aku anak mannja yang tidak tahan jauh-jauh dari mereka. Aku anak cengeng yang akan kedinginan kalau sebentar saja tidak menyentuh hangatnya cinta mereka. Kemudian aku kembali teringat pada harapan yang dititipkan semua orang, alasan mengapa aku berada disini, dua jam perjalanan terpisah dari Mama dan Papa. Terdengar cengeng, tapi aku tetap merindukan mereka dengan jarak yang tidak terlalu jauh ini. “trrrtt…trrtt…” ponselku bergetar, Abang. Nama kontak tertera. “halo, aassalamualaikum” sapaku dengan suara manja. “ia walaikum salam, dimana Laila?” suara berat di seberang telfon menitikkan rasa hangat di dadaku. “ini mau pergi makan sama kakak” “oh ya,hati-hati. Besok jangan lupa, ngegambarnya ga usah buru-buru, yang penting rapi, warnanya ga beleperan kemana-mana” pesannya tenang. “sip bang. Doakan yaa”. Aku terdiam. Sambil memperhatikan ramainya lalu lintas di kota ini, sekilas aku melihaat wajah kakak ku dari kaca spion. Penuh charisma, lalu aku teringat suara berat abangku tadi, penuh charisma. Lalu aku teringat dengan harapan yang tadi mengantarku kesini, dan aku bertekad, aku juga ingin menjadi seperti mereka, penuh charisma dan membuat dua pahlawanku tersenyum bangga. *** Dua ratus empat puluh menit penuh degupan jantung baru saja dimulai. Dan disinilah aku duduk di hadapan selelmbar kertas putih dan crayonku. Ketukan microphone menandakan perjuanganku untuk mewujudkan harapan semua orang telah dimulai. Sambil pura-pura merenggangkan otot leherku yang mulai tegang, aku melihat belasan peserta lainnya juga terlihat gugup menghadapi medan perang mereka dengan tujuan yang sama, mewujudkan harapan yang dititipkan orang pada mereka. Lalu aku menoleh ke belakang, terlihat kakak ku duduk dengan santai mencoba memberikan dukungan dengan membagi sedikit waktunya yang sempit untuk berada di sini menemaniku. Lalu di sampingnya ku lihat Bu Armaita tersenyum memandangiku, lalu mengangguk penuh harapan. Dengan penuh tekad dan beban harapan, aku mengambil pensil dan mulai mencoret kertas putih ini sambil memikirkan harapan. Satu kata, harapan. Namun bermakna sangat besar bagi semua hal. Dan harapan yang ada di pundakku adalah harapan orang-orang yang dititikan padaku, untuk dituangkan pada kertas ini dengan warna-warna yang akum au. Aku memikirkan harapanku sendiri, harapanku tentang semua hal, harapan tentang hidup bahagia dengan orang-orang yang memberiku rasa hangat dan bernama keluarga, di sebuah tempat yang nyaman, dan damai. Aku memikirkan betapa indahnya sebuah dunia tanpa kerusakan yang disebabkan oleh sampah. Kembali aku teringat pada titipan pesan yang dituntut oleh panitia kepada kami agar disampaikan melalui gambar-gambar yang kami senangi, harapan untuk menjaga bumi dari sampah. Tanpa aku sadari goresan-goresanku telah berubah menjadi sebuah wujud abstrak yang berwarna. Sebuah senyum mengembang dibibirku ketika melihat wajah bumi juga tersenyum sambil tersipu merasakan kedamaian saat sampah-sampah telah dibersihkan dari tubuhnya. Aku tersipu, semoga harapan semua orang dapat mewujudkan senyum bumi ini. Dengan tangan yang terasa sedikit pegal karena terlalu lama menggenggam crayon, dan leher yang kaku karena terlalu lama menunduk aku berdiri menyerahkan harapanku di kertas putih tadi, harapan yang diceritakan dengan warna kepada dewan juri. Aku berbalik arah dan melihat Mama telah berdiri dengan senyum paling hangat disebelah kakakku. “makan siang dulu yuk?” kata Mama saat dengan manja aku memeluknya hangat. Kejutan yang sangat hangat. Dengan semangat dan keringat menetes sambil mengunyah bongkahan nasi kotak tidak enak ini, aku bercerita pada Mama dan Papa yang sengaja datang diam-diam ke kota ini untuk memberikanku kejutan tentang hari ini, tentang kemarin, dan tentang kamar sewaan dari panitia yang panas dan banyak nyamuk. Aku bercerita tentang kamar mandi yang tidak bisa dipakai, dan tentang AC di kamar wisma yang tidak bisa menyala. “udah cepetan makannya” tegur kakakku karena melihat nasi-nasi mulai keluar satu-satu dari mulutku yang tidak berhenti mengoceh. Suhu kota yang nyaris menyentuh tiga puluh tiga derajat celcius siang ini seolah semakin terasa panas dan membuatku gerah. Detak jantungku seolah ikut terpicu oleh panasnya hari ini. Sejenak aku memandang keluar dan melihat langit biru tanpa awan, dan memejamkan mata lalu berdoa, “Ya Allah jangan biarkan aku kecewakan hati dan harapan mereka”, lalu ku tatap wajah Mama dan Papa yang terlihat lelah menempuh perjalanan dua jam. Mereka tersenyum. *** Aku memejamkan mata di baik selimut. Udara dingin di sini jauh lebih nyaman untuk membuatku segera memejamkan mata dan berkelana dalam dunia mimpi. Tapi begitu aku memejamkan mata, seketika terlihat lagi senyuman Mama dan Papa ketika aku melangkah ke depan semua orang tadi siang, ketika aku menyentuh sebuah piala dan difoto banyak orang. Aku membalikkan badan, meresap lebih dalam ke dalam selimut. Degupan jantung tadi siang seolah masih terasa menemani dingin yang aku rasakan mala mini. Degupan kencang saat menit-menit berarti itu akan datang. Degupan kencang saat satu persatu nama akan dibacakan, dan degupan kencang saat namaku dipanggil, serta degupan kencang penuh rasa hangat yang mengalir saat kulihat Mama, Papa dan Kakakku berdiri sambil tersenyum lebar menempukkan tangan dengan semangat. Aku tidak akan lupa hari ini, tidak akan lupa rasa yang aku dapatkan hari ini, rasa ketika aku berhasil menyampaikan harapan semua orang melalui warna, dan rasa ketika aku berhasil berdiri di depan sana sambil melihat jauh ke dalam mata kedua pahlawan superku, sambil menaruh pertanyaan disana, “sudahkah aku cukup berkharisma dan memberimu bangga Ma, Pa?”. |
sucibytWhen I can't speak with my mouth, I use my hands to make some words to be heard. Archives
March 2018
|